"JODOH, Tak Akan Tertukar
Diterbitkan oleh : Yayasan SOLO
PEDULI UMMAT
“Oh ibu, usiaku sudah lanjut, namun
belum datang seorang pemuda pun meminangku. Apakah aku akan menjadi perawan
seumur hidup?”. Kira-kira begitulah keluhan seorang gadis Mekah yang berasal
dari Bani Ma’zhum yang kaya raya. Mendengar keluhan si anak, ibunya lantas
kalang kabut untuk mencarikan jodoh buat puterinya. Berbagai ahli nujum dan
dukun ditemuinya. Ia tidak perduli berapa banyak uang yang harus dikeluarkan,
yang penting anaknya segera dapat jodoh.
Namun, sayang usaha si ibu sia-sia.
Janji-janji sang dukun cuma bualan belaka. Sekian lama menunggu jejaka,tetapi
yang ditunggu tidak pernah kunjung tiba. Melihat keadaan itu, gadis Bani
Ma’zhum yang bernama Rithah al-Hamqa menjadi semakin bermuram durja. Tidak ada
kerjaan lain yang diperbuat, kecuali berdiri di depan cermin sambil terus
bertanya, “Mengapa sampai hari ini tidak kunjung datang seseorang yang akan
menikahiku?”
Akhirnya… penantian panjang Rithah
yang telah lanjut usia pun berakhir. Ia bertemu jejaka tampan, lalu mereka
menikah. Tetapi, kesediaan jejaka tampan namun miskin tersebut menikahi Rithah
ternyata hanyalah menginginkan kekayaan Rithah yang melimpah. Ketika si jejaka
telah berhasil menggunakan sebagian harta Rithah, dia pun pergi tanpa pesan.
Dan kini tinggallah Rithah seorang
diri, menangisi kepergian suami yang entah dimana. Kesedihan dan kemurungannya
pun dilampiaskannya dengan membeli beratus-ratus gulung benang untuk ditenun.
Setelah jadi hasil tenunannya, wanita itu mengurai kembali menjadi benang. Lalu
ia tenun lagi dan ia urai lagi terus secara berulang-ulang hingga di sisa-sisa
hidupnya.
***
Kisah Rithah al-Hamqa, gadis Bani
Ma’zhum tersebut memang mengharukan. Di ujung penantiannya yang panjang tentang
jodoh- akhirnya, setelah mendapatkan jodoh–, ternyata seiring dengan
berjalannya waktu harus berakhir dengan kenistapaan. Sungguh ironi.
Sampai-sampai kisah tersebut diabadikan dalam Al Qur’an Surat An Nahl ayat 92, “Dan
janganlah kamu seperti perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal
dengan kuat menjadi bercerai-berai kembali…”
Bertolak dari kisah Rithah al-Hamqa
inilah kita akan mengurai lebih dalam persoalan jodoh. Dan kisah Rithah ini
mengajarkan kita banyak hal. Diantaranya, bahwa jodoh mutlak urusan Allah Swt.
Jodoh tidak dapat dihindari kehadirannya manakala kita belum menginginkannya.
Atau sebaliknya. Jodoh juga tidak dapat dikejar,manakala kita sudah sangat
ingin memilikinya. Bila saatnya tiba, pasti akan datang.
Demikianlah jodoh. Keberdayaannya
tetap menjadi rahasia Allah Swt semata dan tetap tertulis jauh sebelum kita
hadir di muka bumi ini. Rasulullah Saw telah bersabda : “Ketika ditiupkan
ruh pada anak manusia tatkala ia masih di dalam perut ibunya sudah ditetapkan
ajalnya, rezekinya, jodohnya dan celaka atau bahagianya di akhirat”. Jika
demikian, tak bijak rasanya jika kita terlalu larut dalam kekhawatiran,
merisaukan sesuatu yang masih rahasia dan tak seorang pun ada yang tahu. Dan
segala sesuatu yang telah menjadi ketetapan Allah Swt, maka tidak ada satu pun
makhluk yang mampu merubahnya. Termasuk soal jodoh. Ia tidak akan pernah
tertukar atau diambil orang lain.
Kisah Rithah al-Hamqa juga
mengajarkan kita bagaimana menumbuhkan kesabaran diri dalam menggapai
cita-cita. Kesabaran yang diwujudkan dalam seluruh sikap dan pengharapan hanya
kepada Allah Swt. Bukan kepada yang lain. Karena hanya kepada Allah Swt-lah
semua dalam kuasa-Nya. Adalah sebuah kesalahan besar bila kita menyandarkan
segala urusan kepada selain Allah Swt. Karena semua akan berbatas. Dan
cara-cara yang dilakukan ibu Rithah al-Hamqa mendatangi ahli nujum dan dukun
untuk mengupayakan kedatangan jodoh bagi anaknya, adalah kekeliruan. Malah
sebuah kesyirikan besar. “Jarak” kita dengan Allah Swt begitu dekat, maka
kenapa kita tidak memohon kepada-Nya? “Dan apabila hamba-Ku bertanya tentang
Aku, maka jawablah Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang-orang yang berdoa
kepada-Ku…” (QS. Al Baqoroh:186).
Bukan hanya itu, langkah keliru
Rithah al-Hamqa dan ibunya tersebut menjadi simbol ketidaksabaran manusia atas
keinginan diri. Sebuah kekeliruan yang pada akhirnya justru mengantarkannya ke
jurang kerisauan sekaligus kesalahan yang lebih dalam. Bukankah Allah Swt telah
berfirman dalam Al Qur’an Surah Al Baqarah ayat 45, “Dan jadikanlah sabar
dan sholat sebagai penolongmu, sesungguhnya yang demikian itu amat berat
kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, yaitu orang-orang yang meyakini bahwa
mereka akan menemui Rabbnya, dan mereka akan kembali pada-Nya.”
Pernyataan dari Allah Swt melalui
Surat Al Baqarah ayat 45 dan 186 tersebut menjadi indikasi betapa “kedekatan”
kita dengan Allah Swt yang diwujudkan dalam bentuk ketakwaan dan kelurusan hati
serta sikap seperti yang Rasulullah Saw contohkan melalui risalahnya, akan
menjamin terkabulkannya pengharapan kita. Setidaknya, akan menjauhkan diri kita
dari segala bentuk praktik kehidupan yang menyalahi aturan Allah Swt. Kemurnian
akidah terjaga dan kelurusan niat untuk menikah pun tak akan goyah.
Dan Allah Swt tidak akan mungkin
mengingkari janji. Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud, Tarmidzi, dan Ibnu
Majah, Rasulullah Saw bersabda tentang masalah doa, “SesungguhnyaAllah malu
terhadap seseorang yang menadahkan tangannya berdoa meminta kebaikan kepada-Nya,
kemudian menolaknya dalam keadaan hampa.” Maka, sudah jelas jika dengan
intensnya “komunikasi” vertikal kita kepada Allah Swt akan berbuah pada
dikabulkannya doa atau pengharapan kita.
Kisah gadis Bani Ma’zhum juga
memberikan nasihat, bahwa jodoh merupakan amanah Allah Swt. Dan akan diembankan
pada kita pada masa yang tepat. Nah, barangkali jika saat ini kita belum
mendapatkan jodoh,lantaran oleh Allah Swt kita belum dinilai sanggup dan mampu
mengemban amanah itu. Jika demikian, bersangka baik (husnudzon) kepada-Nya
adalah sikap yang terbaik. “Boleh jadi kamu mencintai sesuatu padahal sesuatu
itu amat buruk bagimu, dan boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat
baik bagimu. Kamu tidak mengetahui sedangkan Allah Maha Mengetahui.” (QS. Al
Baqarah:216).
Jodoh dan Kedewasaan Diri
Kisah Rithah al-Hamqa bisa menjadi
cermin betapa jodoh itu serasa ringan diucap, tapi rumit dalam realita. Pun
demikian, sebenarnya semua lebih bergantung pada tingkat kedewasaan kita. Dalam
kata lain, ada korelasi antara jodoh dengan tingkat kedewasaan atau kematangan
jiwa kita. Hal itu akan dapat dirasakan pada saat kita berada di titik tersulit
dalam proses menemukan jodoh. Salah satunya bisa kita simak dari kisah Rithah
al-Hamqa.
Sebenarnya, kisah berliku seperti
yang dilakoni Rithah al-Hamqa pada satu sisi bisa dimaklumi. Pasalnya, wanita
mana yang tidak ingin menikah, lantas membina rumah tangga? Terlebih disaat
usia kian merambat tua. Namun, di sisi lain kadangkala ketergesa-gesaan manusia
justru membuka lebar jalan menuju kesesatan. Seperti langkah-langkah irasional
yang ditunjukkan ibu Rithah al-Hamqa dengan mendatangkan para ahli nujum atau
dukun.
Atas rumitnya persoalan jodoh bisa
jadi lantaran kurang serius dan kesungguhan kita dalam menjemput jodoh itu
sendiri. Yang ada hanya mengeluh dan menuntut kemurahan Allah Swt agar segera
dipertemukan dengan jodohnya. Nah, pada saat titik tertentu ketika sang jodoh
belum juga kunjung hadir, lahirlah kekecewaan, keterputusasaan dan kerisauan
yang mendalam, sehingga dari sanalah kosakata rumit itu muncul. Maka, hampir
bisa dipastikan bahwa kerumitan kita dalam memaknai kata jodoh justru bermula
dari diri kita sendiri. Bukan dari siapa pun. Pengharapan yang terlalu
tinggi,namun minus kesungguhan dalam berikhtiar. Atau malah nihil.
Dibalik fenomena “telat nikah”
-masih bertolak dari kisah Rithah al-Hamqa– sebenarnya ada bukti-bukti kasih
sayang Allah Swt yang bisa dilihat dan dirasakan. Boleh jadi telatnya
pernikahan atau sering gagalnya proses ta’aruf, lantaran kadar kedewasaan kita
belum cukup untuk menghadapi belantara rumah tangga yang akan dibangun bersama
pasangan hidup. Dan Allah Swt Maha Tahu apa-apa yang ada di dir hamba-Nya.
Yakinlah, bahwa tanpa harus dikeluhkesahkan jika memang sudah masanya tiba,
maka jodoh itu pasti datang. (Tentu saja setelah menyempurnakan ikhtiar, baik
secara vertikal maupun horizontal).
Kedewasaan disini termasuk juga
dalam memaknai kehadiran jodoh itu sendiri. Memang, pilihan pertama kita
berharap cepat mendapatkan jodoh. Namun, jangan lupakan pula ada pilihan kedua.
Yakni, lambat mendapatkan jodoh, tapi suatu ketika pasti mendapatkannya di
dunia. Atau pilihan ketiga, dimana kita akan mendapatkan jodoh pada saat di
akhirat kelak. Apapun pilihan jodoh yang ditentukan Allah Swt, maka hal itu
adalah hal yang terbaik untuk kita.
Dari sinilah kita mengambil hikmah
betapa kekhawatiran dan kerisauan bahwa jodoh kita akan tertukar atau diambil
orang adalah bukti tipisnya keyakinan kita pada Allah Swt Yang Maha Pengatur,
sehingga hal itu berpengaruh pada sikap mental dan kerdilnya pola fikir kita.
Dan diakui atau tidak, kenyataan ini masih menjadi bagian dari diri kita.
Khususnya, yang sampai saat ini masih dalam masa menunggu kedatangan jodohnya.
Menjemput Jodoh
Sekali lagi, jodoh itu layaknya
rezeki dan kematian. Telah tertulis dan tetap akan menjadi misteri yang akan
selalu menjadi kuasa Allah Swt. Dalam kesadaran tertinggi dan batas bening
jiwa, tentu kita selaku manusia hanya mampu menyadari betapa kita tak cukup
kuasa untuk menjangkau itu semua. Kecuali, sekadar melakukan optimalisasi
serangkaian ikhtiar. Dan di berikut ini ada beberapa upaya yang dapat dilakukan
unutk menjemput jodoh :
Pertama, memperbaiki diri. Jika kita ingin mendapatkan jodoh yang
sholih/sholihah, maka kita harus menjadi orang yang sholih/sholihah juga.
Sebagaimana firman-Nya, “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang
keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan
wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang
baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)…” (QS. An Nuur : 26).
Perbaikan disini berarti secara lahiriah/jasadiyah dan batiniah. Ada sebagian
orang mendambakan jodoh yang sholih/sholihah, tapi ia sendiri justru tidak atau
kurang sholihah/sholih.
Kedua, tidak putus asa dalam berdoa. Doa yang baik untuk
mendapatkan jodoh adalah seperti yang terdapat dalam Surat Al-Furqon ayat 74 :
“Ya Robb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami
sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa”. Dan berdoalah menurut apa yang diajarkan Allah Swt dan Rasul-Nya
kepada kita, niscaya doa kita akan lebih terkabul.
Ketiga, meningkatkan kualitas ibadah wajib dan memperbanyak ibadah
sunnah. Agar jodoh kita semakin cepat datang, kita wajib “mendekati” Allah Swt
lebih ekstra. Caranya, dengan meningkatkan kualitas ibadah wajib dan menambah
ibadah-ibadah sunnah. Seperti, sholat Tahajjud dan Dhuha, Shaum, Tilawah Al
Qur’an, Infak, dan lain-lain.
Keempat, memiliki kriteria yang tidak muluk. Boleh jadi jodoh sulit
datang lantaran kriteria jodoh yang terlalu muluk. Selalu menjadikan keunggulan
fisik dan materi sebagai standar tertinggi. Namun, hal itu justru yang akan
mempersulit diri sendiri. Itulah sebabnya Rasulullah Saw menganjurkan untuk
memilih kualitas agama sebagai standar utama dalam mencari jodoh. Tentu hal ini
memungkinkan jodoh kita orang miskin, tidak berpangkat, bukan keturunan orang
baik, akan tetapi memiliki agama/akhlak yang baik.
Seperti, kisah Juwaibar. Meski
secara fisik kurang mendukung, namun dia salah satu sahabat yang dicintai
Rasulullah Saw, karena ketakwaannya pada Allah Swt. Terbukti, Juwaibar telah
menikah dengan Zulfa, putri dari Ziyad bin Labid yang sholihah, cantik jelita
dan dari keluarga kaya. Kehidupan keduanya pun diliputi kebahagiaan.
Kelima, memperluas pergaulan. Ini bagian dari upaya horizontal
untuk mendapatkan jodoh. Dengan pergaulan yang luas kita juga lebih banyak
mendapatkan pilihan. Membuka diri jika selama ini masih terkungkung oleh
pribadi yang tertutup. Ingat, tak jarang jodoh itu datang bukan dari perkenalan
langsung, tapi dari kenalan teman kita.
Keenam, meminta tolong orang
lain atau menyatakan hasrat secara langsung. Meminta tolong orang lain yang
reputasinya baik. Atau biasa disebut guru mengaji, murobbi, teman, orang tua,
saudara, dan yang lain.
Atau jika memiliki sebuah
keberanian, bisa dilakukan sendiri. Hal ini juga berlaku bagi para
wanita/akhowat. Sekalipun cara ini masih terbilang asing dalam budaya
Indonesia, namun cara ini sebenarnyaIslami. Karena pernah dilakukan Khadijah ra
kepada Nabi Muhammad Saw. Pada masa itu, Khadijah ra yang lebih dahulu
menyatakan hasratnya kepada Nabi melalui perantaranya.
Jadi, untuk meraih keberkahan dalam
ikhtiar menjemput jodoh, kita harus yakin pada Allah Swt, bahwa jodoh kita
telah tertulis sebagaimana rezeki dan kematian kita dan pasti tak akan pernah
tertukar atau diambil orang lain. Tak perlu khawatir. Ia pasti akan menemukan
jalan untuk menjumpai kita. Ia tak akan datang terlalu cepat hingga kita harus
terburu-buru, tapi juga tak akan terlalu lama hingga kita lelah menunggu.
Wallahu’alam.